Selasa, 31 Januari 2012

CONTOH SURAT KUASA


SURAT KUASA

Yang bertanda tangan di bawah ini,
Nama               : M.Nurfuad
Alamat              : Menteng Dalam Rt 009/09 
Kelurahan         : Menteng Dalam Tebet Jakarta Selatan
No. KTP          : 09.5301.110970.7013
Jabatan              : Direktur

Dengan ini memberikan kuasa kepada,
Nama               : Sarih
Jabatan            : Staff Umum
No.KTP           : 3175103112750017
Alamat             : Lubang Buaya Rt 003/09 Jakarta Timur

Untuk keperluan Pengambilan BPKB Mobil di OTTO Finance dengan Data sbb,
Nomor Polisi               : B 9430 UAA
Nama pemilik              : PT. JIKO GANTUNG POWER
Alamat                         : Jl. Boulevard Barat raya Blk A-3/66 Jakarta utara
Merk/Type                   :  Suzuki Futura AST 150
Jenis/Model                 :  Pick up
Tahun Pembuatan       : 2010
Isi Silinder                   : 01493
Warna                          : Hitam
No. Rangka                 : MHYESL415AJ156607
No. Mesin                   : G15AID766779

Demikianlah Surat Kuasa ini di buat untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya,
Atas kerja samanya saya sampaikan Terima kasih.

Jakarta, 01 Februari 2012
Pemberi Kuasa                                                                        Penerima Kuasa




  M. Nurfuad                                                                           Sarih

Selasa, 10 Januari 2012

Tempat Meletakkan Kedua Tangan Saat Berdiri Shalat

Ustadz Mustamin Musaruddin, Lc.
PERTANYAAN
Dalam praktik shalat, ketika berdiri, ada sebagian orang yang meletakkan kedua tangannya di atas dada, pusar, dan lain-lain. Bagaimanakah tuntunan yang sebenarnya dalam masalah ini?
JAWABAN
Telah tetap tuntunan Rasulullah shallal lahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, dalam hadits-hadits yang sangat banyak, bahwa pada saat berdiri dalam shalat, tangan kanan diletakkan di atas tangan kiri, dan ini merupakan pendapat jumhur tabi’in dan kebanyakan ahli fiqih, bahkan Imam At-Tirmidzy berkata, “Dan amalan di atas ini adalah amalan di kalangan ulama dari para shahabat, tabi’in, dan orang-orang setelah mereka ….” Lihat Sunan -nya 2/32.
Akan tetapi, ada perbedaan pendapat tentang tempat meletakkan kedua tangan (posisi ketika tangan kanan di atas tangan kiri) ini di kalangan ulama, dan inilah yang menjadi pembahasan untuk menjawab pertanyaan di atas.
Berikut ini pendapat para ulama dalam masalah ini, diringkas dari buku La Jadida Fi Ahkam Ash-Shalah karya Syaikh Bakr bin ‘Abdillah Abu Zaid
Pendapat Pertama , kedua tangan diletakkan pada an-nahr.An-nahr adalah anggota badan antara di atas dada dan di bawah leher. Seekor onta yang akan disembelih, maka disembelih pada nahr-nya dengan cara ditusuk dengan ujung pisau. Itulah sebabnya hari ke-10 Dzulhijjah, yaitu hari raya ‘Idul Adha (Qurban), disebut juga yaumun nahr -hari An-Nahr (hari penyembelihan)-.
Pendapat Kedua , kedua tangan diletakkan di atas dada. Ini adalah pendapat Al-Imam Asy-Syafi’iy pada salah satu riwayat darinya, pendapat yang dipilih oleh Ibnul Qayyim Al-Jauzy dan Asy-Syaukany, serta merupakan amalan Ishaq bin Rahawaih. Pendapat ini dikuatkan oleh Syaikh Al-Albany dalam kitab Ahkamul Jana` iz dan Sifat Shalat Nabi .
Pendapat Ketiga ,kedua tangan diletakkan di antara dada dan pusar (lambung/perut). Pendapat ini adalah sebuah riwayat pada madzhab Malik, Asy-Syafi’i dan Ahmad, sebagaimana disebutkan oleh Al-Imam Asy-Syaukany dalam Nailul Authar . Pendapat ini dikuatkan oleh Al-Imam Nawawy dalam Madzhab Asy-Syafi’i, dan merupakan pendapat Sa’id bin Jubair dan Daud Azh-Zhahiry sebagaimana disebutkan oleh Al-Imam An-Nawawy dalam Al-Majmu’ (3/313).
Pendapat Keempat , kedua tangan diletakkan di atas pusar. Pendapat ini merupakan salah satu riwayat dari Imam Ahmad dan dinukil dari Ali bin Abi Thalib dan Sa’id bin Jubair.
Pendapat Kelima ,kedua tangan diletakkan di bawah pusar. Ini adalah pendapat madzhab Al-Hanafiyah bagi laki-laki, Asy-Syafi’iy dalam sebuah riwayat, Ahmad, Ats-Tsaury dan Ishaq
Pendapat Keenam ,kedua tangan bebas diletakkan dimana saja: di atas pusar, di bawahnya, atau di atas dada.
Imam Ahmad ditanya, “Dimana seseorang meletakkan tangannya apabila ia shalat?” Beliau menjawab, “Di atas atau di bawah pusar.” Semua itu ada keluasan menurut Imam Ahmad diletakkan di atas pusar, sebelumnya atau di bawahnya. Lihat Bada`i’ul Fawa`id 3/91 karya Ibnul Qayyim.
Berkata Imam Ibnul Mundzir sebagaimana dalam NailulAuthar , “Tidak ada sesuatu pun yang tsabit (baca: shahih) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, maka ia diberi pilihan.” Perkataan ini serupa dengan perkataan Ibnul Qayyim sebagaimana yang dinukil dalam Hasyiah Ar-Raudh Al-Murbi’ (2/21).
Pendapat ini merupakan pendapat para ulama di kalangan shahabat, tabi’in dan setelahnya. Demikian dinukil oleh Imam At-Tirmidzy.
Ibnu Qasim, dalam Hasyiah Ar-Raudh Al-Murbi’ (2/21), menisbahkan pendapat ini kepada Imam Malik.
Pendapat ini yang dikuatkan oleh Syaikh Al-‘Allamah Al-Muhaddits Muqbil bin Hady Al-Wadi’iy rahimahullah karena tidak ada hadits yang shahih tentang penempatan kedua tangan saat berdiri melaksanakan shalat.
Dalil-Dalil Setiap Pendapat dan Pembahasannya
Dalil Pendapat Pertama
Dalil yang dipakai oleh pendapat ini adalah atsar yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu tentang tafsir firman Allah Ta’ala,
“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu, dan berqurbanlah.” [ Al-Kautsar: 2 ]
Beliau berkata (menafsirkan ayat di atas -pent.),
وَضْعُ الْيَمِيْنِ عَلَى الشِّمَالِ فِي الصَّلاَةِ عِنْدَ النَّحْرِ
“Meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri dalam shalat pada an-nahr.” (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqy 2/31)
Pembahasan
Riwayat ini lemah karena pada sanadnya terdapat Ruh bin Al-Musayyab Al-Kalby Al-Bashry yang dikatakan oleh Ibnu Hibban bahwa ia meriwayatkan hadits-hadits palsu dan tidak halal meriwayatkan hadits darinya. Lihat Al-Jauhar An-Naqy .
Dalil Pendapat Kedua
Dalil pertama , hadits Qabishah bin Hulb Ath-Tha’iy dari bapaknya, Hulb radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,
رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وآلِهِ وَسَلَّمَ يَضَعُ هَذِهِ عَلَى هَذِهِ عَلَى صَدْرِهِ وَوَصَفَ يَحْيَى الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى فَوْقَ الْمِفْصَلِ
“Saya melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam meletakkan ini di atas ini, di atas dadanya -dan yahya (salah seorang perawi -pent.) mencontohkan tangan kanan di atas pergelangan tangan kiri-.”
Pembahasan
Hadits ini dikeluarkan oleh Al-Imam Ahmad dalam Musnad -nya (5/226) dan Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 434 (dan lafazh hadits baginya) dari jalan Yahya bin Sa’id Al-Qaththan, dari Sufyan Ats-Tsaury, dari Simak bin Harb, dari Qabishah bin Hulb.
Hadits ini diriwayatkan dari Hulb Ath-Tha’iy oleh anaknya, Qabishah, dan dari Qabishah hanya diriwayatkan oleh Simak bin Harb. Selanjutnya, dari Simak bin Harb diriwayatkan oleh 6 orang, yaitu:
Sufyan Ats-Tsaury, akan disebutkan takhrijnya.
Abul Ahwash, diriwayatkan oleh At-Tirmidzy no. 252, Ibnu Majah no. 809, Ahmad 5/227, ‘Abdullah bin Ahmad dalam Zawa`id Al-Musnad 5/227, Ath-Thabarany 22/165/424, Al-Baghawy 3/31, dan Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 435.
Syu’bah bin Al-Hajjaj, diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Ashim dalam Al-Ahad Wal Matsany no. 2495 dan Ath-Thabarany 22/163/416.
Syarik bin ‘Abdillah, diriwayatkan oleh Ahmad 5/226, Ibnu Abi ‘Ashim dalam Al-Ahad Wal Matsany no. 2493, Ibnu Qani’ dalam Mu’jam Ash-Shahabah 3/198, Ath-Thabarany 22/16/426, dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam At-Tamhid 20/73.
Asbath bin Nashr, diriwayatkan oleh Ath-Thabarany 22/165/422.
Hafsh bin Jami’, diriwayatkan oleh Ath-Thabarany 22/165/423.
Za`idah bin Qudamah, diriwayatkan oleh Ibnu Qani’ dalam Mu’jam Ash-Shahabah 3/198.
Dari ketujuh orang ini, tidak ada yang meriwayatkan lafazh “Meletakkan ini atas yang ini, di atas dadanya”, kecuali riwayat Yahya bin Sa’id Al-Qaththan dari Sufyan Ats-Tsaury, yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad 5/226 dan Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 434.
Kemudian, Yahya bin Sa’id Al-Qaththan bersendirian dalam meriwayatkan lafazh tersebut dan menyelisihi 5 rawi tsiqah lainnya dari Sufyan Ats-Tsaury, yang kelima orang tersebut meriwayatkan hadits ini tanpa tambahan lafazh “Meletakkannya di atas dada”. Kelima rawi tersebut adalah:
Waki’ bin Jarrah, diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 1/342/3934, Ahmad 5/226, 227, Ibnu Abi ‘Ashim no. 2494, Ad-Daraquthny 1/285, Al-Baihaqy 2/29, Al-Baghawy 3/32, dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam At-Tamhid 20/74.
‘Abdurrahman bin Mahdy, diriwayatkan oleh Ad-Daraquthny 1/285.
‘Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf 2/240/3207 dan dari jalannya Ath-Thabarany 22/163/415
Muhammad bin Katsir, diriwayatkan oleh Ath-Thabarany 22/165/421.
Al-Husain bin Hafsh, diriwayatkan oleh Al-Baihaqy 2/295.
Hadits Qabishah adalah hadits yang hasan dari seluruh jalan-jalannya. Dihasankan oleh At-Tirmidzy 2/32 dan diakui kehasanannya oleh An-Nawawy dalam Al-Majmu’ 2/312.
Penyebab hasannya adalah Qabishah bin Hulb, meskipun mendapatkan tautsiq dari sebagian ulama, tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali Simak bin Harb. Berkata Ibnu Hajar di dalam At-Taqrib, “Maqbul,” yang artinya riwayatnya bisa diterima kalau ada pendukungnya, kalau tidak ada maka riwayatnya lemah.
Riwayat yang hasan tersebut adalah tanpa tambahan lafazh “Meletakkan tangannya di atas dada”.
Jadi jelaslah, bahwa Yahya bin Sa’id bersendirian dalam meriwayatkan lafazh “meletakkan ini atas yang ini, di atas dadanya”, dan menyelisihi 6 orang lainnya dari Sufyan Ats-Tsaury, dan menyelisihi Ashab (baca: murid-murid) Simak bin Harb yang lain, seperti Za`idah bin Qudamah, Syu’bah, Abul Ahwash, Asbath bin Nashr, Syarik bin ‘Abdillah, dan Hafsh bin Jami’. Maka jelaslah bahwa terdapat kesalahan pada riwayat tersebut, sehingga dihukumi sebagai riwayat yang syadz ‘ganjil’ atau mudraj, tetapi kami tidak bisa menentukan dari mana asal dan kepada siapa ditumpukan kesalahan ini. Wallahu a’lam.
Dalil kedua , Hadits Wa`il bin Hujr radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,
صَلَّيْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى يَدِهِ الْيُسْرَى عَلَى صَدْرِهِ
“Saya shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya di atas dadanya.”
Pembahasan
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ibnu Khuzaimah dalam Shahih -nya 1/243 no. 479 dari jalan Abu Musa (Al-‘Anazy), dari Mu`ammal (bin Isma’il), dari Sufyan Ats-Tsaury, dari ‘Ashim bin Kulaib, dari bapaknya, dari Wa`il bin Hujr radhiyallahu ‘anhu.
Riwayat ini adalah riwayat yang syadz atau mungkar karena Mu`ammal bin Isma’il meriwayatkannya dengan tambahan lafazh “di atas dada”, dan dia menyelisihi 2 orang selainnya yang meriwayatkan dari Sufyan, yaitu:
‘Abdullah bin Al-Walid (diriwayatkan oleh Imam Ahmad 4/318).
Muhammad bin Yusuf Al-Firiyaby ( Al-Mu’jamul Kabir /Ath-Thabarany no. 78).
Juga meyelisihi 10 orang yang meriwayatkan dari ‘Ashim bin Kulaib. Kesepuluh orang tersebut adalah:
Bisyr bin Al-Mufadhdhal, diriwayatkan oleh Imam Abu Daud 1/456 no. 726, 1/578 no. 957 dari jalan Musaddad, darinya (Bisyr bin Al-Mufadhdhal), dan An-Nasa`i 3/35 hadits no. 1265 dari jalan Isma’il bin Mas’ud, darinya.
‘Abdullah bin Idris, diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Shahih -nya ( Al-Ihsan 3/308/hadits no. 1936) dari jalan Muhammad bin ‘Umar bin Yusuf, dari Sallam bin Junadah, darinya (‘Abdullah bin Idris).
‘Abdul Wahid bin Ziyad, diriwayatkan oleh Ahmad 4/316 dari jalan Yunus bin Muhammad, darinya, Al-Baihaqy 2/72 dari jalan Abul Hasan ‘Ali bin Ahmad bin ‘Abdan, dari Ahmad bin ‘Ubeid Ash-Shaffar, dari ‘Utsman bin ‘Umar Adh-Dhabby, dari Musaddad, darinya.
Zuhair bin Mu’awiyah, diriwayatkan oleh Ahmad 4/318 dari jalan Aswad bin ‘Amir, darinya, dan Ath-Thabarany dalam Al-Mu’jamul Kabir 22/26/84 dari jalan ‘Ali bin ‘Abdul ‘Aziz, dari Abu Ghassan Malik bin Isma’il, darinya.
Khalid bin Abdullah Ath-Thahhan, diriwayatkan oleh Al Baihaqy 2/131 dari 2 jalan, yaitu dari jalan Abu Sa’id Muhammad bin Ya’qub Ats-Tsaqafy, dari Muhammad bin Ayyub, dari Musaddad, darinya, dan dari jalan Abu ‘Abdillah Al-Hafizh, dari ‘Ali bin Himsyadz, dari Muhammad bin Ayyub, dan seterusnya seperti jalan di atas.
Sallam bin Sulaim Abul Ahwash, diriwayatkan oleh Abu Daud Ath-Thayalisy di dalam Musnad -nya hal 137/hadits 1060 darinya, dan Ath-Thabarany ( Al-Mu’jamul Kabir 22/34/80) dari jalan Al-Miqdam bin Daud, dari Asad bin Musa, darinya.
Abu ‘Awanah, diriwayatkan oleh Ath-Thabarany dalam Al-Mu’jamul Kabir 22/34/90 dari 2 jalan: dari jalan ‘Ali bin ‘Abdil ‘Aziz, dari Hajjaj bin Minhal, darinya, dan dari jalan Al-Miqdam bin Daud, dari Asad bin Musa, darinya.
Qais Ar-Rabi’, diriwayatkan oleh Ath-Thabarany dalam Al-Mu’jamul Kabir 22/34/79 dari jalan Al-Miqdam bin Daud, dari Asad bin Musa, darinya.
Ghailan bin Jami’, diriwayatkan oleh Ath-Thabarany 22/34/88 dari jalan Al-Hasan bin ‘Alil Al-‘Anazy dan Muhammad bin Yahya bin Mandah Al-Ashbahany dari Abu Kuraib, dari Yahya bin Ya’la, dari ayahnya, darinya.
Zaidah bin Qudamah, diriwayatkan oleh Ahmad 4/318 dari jalan ‘Abdushshamad, darinya.
Mu`ammal bin Isma’il sendiri adalah rawi yang dicela hafalannya. Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar, dalam Taqribut Tahdzib ,memberikan kesimpulan, “Shaduqun Sayyi`ul Hifzh,” sementara dia sendiri telah menyelisihi ‘Abdul Wahid dan Muhammad bin Yusuf Al-Firiyaby pada periwayatannya dari Sufyan Ats-Tsaury, serta menyelisihi 10 orang rawi dari ‘Ashim bin Kulaib lainnya yang sebagian besarnya adalah tsiqah dan semuanya tidak ada yang meriwayatkan lafazh “pada dadanya”.
Ada jalan lain bagi hadits Wa`il bin Hujr ini, yaitu diriwayatkan oleh Al-Baihaqy 2/30 dari jalan Muhammad bin Hujr Al-Hadhramy, dari Sa’id bin ‘Abdil Jabbar bin Wa`il, dari ayahnya, dari ibunya, dari Wa`il bin Hujr, tetapi terdapat beberapa kelemahan di dalamnya:
Muhammad bin Hujr lemah haditsnya, bahkan Imam Adz-Dzahaby, dalam Mizanul I’tidal ,mengatakan, “Lahu manakir ‘meriwayatkan hadits-hadits mungkar’.” Lihat juga Lisanul Mizan .
Sa’id bin ‘Abdul Jabbar, dalam At-Taqrib ,disebutkan bahwa ia adalah rawi dha’if.
Ibu ‘Abdul Jabbar. Berkata Ibnu Turkumany dalam Al-Jauhar An-Naqy , “Saya tidak tahu keadaan dan namanya.”
Dalil ketiga , hadits Thawus bin Kaisan secara mursal, dia berkata,
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَضَعُ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى يَدِهِ الْيُسْرَى ثُمَّ يَشُدُّ بَيْنَهُمَا عَلَى صَدْرِهِ وَهُوَ فِي الصَّلاَةِ
“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam beliau meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya kemudian mengeratkannya di atas dadanya,dan beliau dalam keadaan shalat.”
Pembahasan
Hadits ini dikeluarkan oleh Abu Daud di dalam kitabnya, As-Sunan , no. 759 dan dalam Al-Marasil hal. 85 dari jalan Abu Taubah, dari Al-Haitsam bin Humaid, dari Tsaur bin Zaid, dari Sulaiman bin Musa, dari Thawus. Sanadnya shahih kepada Thawus, tetapi haditsnya mursal, dan mursal adalah jenis hadits yang lemah.
Dalil keempat , Hadits ‘Ali bin Abi Thalib tentang firman Allah Ta’ala ,
“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu, dan berqurbanlah.” [ Al-Kautsar: 2 ]
Beliau berkata,
وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى وَسَطِ سَاعِدِهِ الْيُسْرَى ثُمَّ وَضَعَهُمَا عَلَى صَدْرِهِ فِي الصَّلاَةِ
“Beliau meletakkan tangan kanannya di atas sa’id ‘ setengah jarak pertama dari pergelangan ke siku ’ tangan kirinya, kemudian meletakkan kedua tangannya di atas dadanya di dalam shalat.”
Atsar ini dikeluarkan oleh Ibnu Jarir dalam Tafsir -nya 30/326, Al-Bukhary dalam Tarikh -nya 3/2/437, dan Al-Baihaqy 2/30.
Pembahasan
Berkata Ibnu Katsir dalam Tafsir -nya, “(Atsar) ini, (yang) diriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalib, tidak shahih (lemah-pent.).”
Berkata Ibnu Turkumany dalam Al-Jauhar An-Naqy , “Di dalam sanad dan matannya ada kegoncangan.”
Berikut rincian kelemahan dan kegoncangan atsar ini.
Atsar ini telah diriwayatkan pula oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 1/343, Ad-Daraquthny 1/285, Al-Hakim 2/586, Al-Baihaqy 2/29, Al-Maqdasy dalam Al-Mukhtarah no. 673, dan Al-Khatib dalam Mudhih Auham Al-Jama’ Wa At-Tafriq 2/340. Semuanya tidak ada yang menyebutkan kalimat “di atas dada”, bahkan dalam riwayat Ibnu ‘Abdil Barr, dalam At-Tamhid ,disebutkandengan lafazh “di bawah pusar”. Lihat pula Al-Jarh Wat Ta’dil 6/313.
Perputaran atsar ini ada pada seorang rawi yang bernama ‘Ashim bin Al-‘Ujaj Al-Jahdary, yang dari biografinya bisa disimpulkan bahwa ia adalah seorang rawi yang maqbul. Baca Mizanul I’tidal dan Lisanul Mizan .
‘Ashim ini telah goncang dalam meriwayatkan hadits ini. Kadang dia meriwayatkan dari ‘Uqbah bin Zhahir, kadang dari ‘Uqbah bin Zhabyan, kadang dari ‘Uqbah bin Shahban, dan kadang dari ayahnya, dari ‘Uqbah bin Zhabyan. Baca ‘ Ilal Ad-Daraquthny 4/98-99.
Maka atsar ini adalah lemah. Ibnu Katsir juga menyebutkan dalam Tafsir -nya bahwa atsar ini menyelisihi jumhur mufassirin. Wallahu a’lam.
Kesimpulan
Seluruh hadits yang menunjukkan bahwa kedua tangan diletakkan pada dada ketika berdiri dalam shalat adalah lemah dari seluruh jalan-jalannya dan tidak bisa saling menguatkan. Wallahu a’lam.
Dalil-Dalil Pendapat Ketiga, Keempat dan Kelima
Dalil-dalil ketiga pendapat ini mungkin bisa kembali kepada dalil-dalil yang akan disebutkan, namun perbedaan dalam memetik hukum, memandang dalil, dan mengkompromikannya dengan dalil yang lain menyebabkan terlihatnya persilangan dari ketiga pendapat tersebut.
Berikut ini uraian dalil-dalilnya.
Dalil pertama , dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
إِنَّ مِنَ السُّنَّةِ فِي الصَّلاَةِ وَضَعَ الْأَكُفِّ عَلَى الْأَكُفِّ تَحْتَ السُّرَّةِ
“Sesungguhnya termasuk Sunnah dalam shalat adalah meletakkan telapak tangan di atas telapak tangan di bawah pusar.”
Diriwayatkan oleh Ahmad 1/110, Abu Daud no. 756, Ibnu Abi Syaibah 1/343/3945, Ad-Daraquthny 1/286, Al-Maqdasy no. 771,772, dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam At-Tamhid 20/77. Dalam sanadnya ada rawi yang bernama ‘Abdurrahman bin Ishak Al-Wasity yang para ulama telah sepakat untuk melemahkannya sebagaimana dalam Nashbur Rayah 1/314.
Dalil kedua ,dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
وَضْعُ الْكَفِّ عَلَى الْكَفِّ فِي الصَّلاَةِ تَحْتَ السُّرَّةِ مِنَ السُّنَّةِ
“Meletakkan telapak tangan di atas telapak tangan di bawah pusar di dalam shalat termasuk sunnah.”
Diriwayatkan oleh Abu Daud no. 758. Dalam sanadnya juga terdapat ‘Abdurrahman bin Ishak Al-Wasity.
Dalil ketiga , dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
مِنْ أَخْلاَقِ النُّبُوَّةِ وَضْعُ الْيَمِيْنِ عَلَى الشِّمَالِ تَحْتَ السُّرَّةِ
“Termasuk akhlak-akhlak kenabian, meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri di bawah pusar.”
Ibnu Hazm menyebutkannya secara mu’allaq ‘tanpa sanad’ dalam Al-Muhalla 4/157.
Kesimpulan Pembahasan
Dari uraian di atas, nampak jelas bahwa seluruh hadits-hadits yang menerangkan tentang penempatan (posisi) kedua tangan pada anggota badan dalam shalat adalah hadits-hadits yang lemah. Dengan ini, bisa disimpulkan bahwa pendapat yang kuat dalam permasalahan ini adalah pendapat keenam, yaitu bisa diletakkan dimana saja: di dada, di pusar, di bawah pusar, atau antara dada dan pusar. Wallahu a’lam

Sabtu, 07 Januari 2012

Syariah Islam

Syari’ah Islam Memberi Rasa Aman Bagi Seluruh Manusia
Risalah Mursyid
Oleh: Al-Ikhwan.net
Risalah dari Dr Muhammad Badi’, Mursyid Am Ikhwanul Muslimin
Penerjemah:

Abu ANaS

Islam adalah agama dan negara:
Segala puji bagi Allah, dan shalawat dan salam atas Rasulullah saw, keluarganya dan sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti dan mendukungnya, selanjutnya ..
Sungguh telah terpatri pada setiap orang-orang memiliki rasio tinggi pengakuan akan pentingnya hidup dalam kelompok (jamaah) yang memiliki kekuatan, system, dan hukum sehingga dapat membentengi diri dari melakukan kezhaliman diantara mereka, memisahkan keduanya ketika terjadi konflik dan sengketa. dan gambaran jamaah ini terus berkembang hingga membentuk negara dan diterima oleh umat manusia sepanjang zaman untuk memberikan kekuatan mereka pada kekuatan negara, memberikan beberapa kemampuan mereka untuk memperkuat sistem dan jamaah, serta untuk mengeksiskan prestise dan pengaruhnya, yang mampu mengeluarkan kebenaran dari penindasan, menyelamatkan banyak orang dari berbagai kezhaliman, menghadang para pelaku kerusakan sehingga mampu mencapai maqashid syar’iyyah (target-target syariah), mewujudkan keadilan dan ketentraman. Karena jika tidak demikian, maka kehidupanakan  terbengkalai dan berantakan bahkan sirna. ada ungkapan:

لا يَصْلُحُ النَّاسُ فَوْضَى لا سَرَاةَ لَهُمْ   وَلا سَرَاةٌ إذَا جُهَّالُهُمْ سَادُوا
Tidaklah suatu masyarakat akan baik jika terdapat di dalamnya kegaduhan yang tidak mampu ditutupi #
dan hal tersebut tidak akan mampu ditutupi jika orang-orang bodoh yang menjadi pemimpin mereka
Oleh karena itulah Islam yang hanif datang dan menyeru umat untuk memilih seorang pemimpin yang mampu memberikan kemaslahatan, mengatur segala urusan mereka menuju yang terbaik dan terhormat, sehingga mampu mewujudkan kepada mereka bentuk keadilan, meluruskan kondisi mereka pada kedisiplinan, menyelamatkan jiwa mereka dari kecemasan dan kebingungan, dan memantapkan hidup mereka di bawah payung keamanan dan martabat mulia, serta mengajak semua umat untuk menghormati sistem ini. Bahkan Ali ra pernah berkata:

الملْكُ وَالدِّينُ أَخَوَانِ، لَا غِنًى لأحَدِهِمَا عَنْ الْآخَر، فَالدِّينُ أُسٌّ وَالملكُ حَارِسٌ، فَمَا لَمْ يَكُنْ لَهُ أُسٌّ فَمَهْدُومٌ، وَمَا لَمْ يَكُنْ لَهُ حَارِسٌ فَضَائِعٌ
“Raja dan agama merupakan dua sejoli, tidak bisa dipisahkan antara satu dengan lainnya, karena agama adalah pondasi sementara raja adalah penjaganya, jika tidak memiliki pondasi maka akan hancur, dan jika tidak memiliki penjaga maka akan mudah sirna”
Dan untuk mencapai tujuan tersebut, Allah SWT meletakkan kaedah-kaedah keadilan dan dasar-dasar hukum yang baik, seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’an:

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَاناً لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدىً وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ
“Dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri”. (An-Nahl:89)
Dan memberikan pemahaman melalui lisan Nabi Muhammad saw terhadap apa yang terdapat dalam Al-Qur’an, sebagaimana memberikan mandat untuk memberikan gambaran praktis dan real terhadap hukum yang baik ini. Maka dengan demikian bersatulah ajaran agama Islam yang mulia secara teori dan praktek dalam bentuk yang paling lurus dan baik dalam menetapkan hak-hak manusia, melindungi kebebasan dan menjamin kehidupan yang layak bagi semua orang, dan dengan demikian pula lengkaplah ajaran agama dan sempurna karunia Allah, sebagaimana firman Allah:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu”. (Al-Maidah:3)
Hukum Islam melindungi non-Muslim:
Dalam naungan syariat Islam hanya dengan toleransi saja lalu kebebasan non-Muslim dari Yahudi dan orang-orang Kristen terjaga dan terlindungi agama dan kepercayaan mereka, guna dapat menunaikan kegiatan ritual yang berkaitan dengan kondisi dan kepercayaan mereka masing-masing. Allah berfirman:

لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا
“Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang”. (Al-Maidah:48)
Diberikan pengecualian untuk mereka dari sebagian syariat berupa kewajiban atau pengharaman yang tidak ditetapkan oleh mereka.
Dan dalam naungan syariat ini saja mampu mencegah pencemaran simbol agama atau penghinaan terhadap agama, dan karenanya tidak  mengherankan bahwa gereja di Mesir bertumpu pada penerapan Syariah Islam; untuk memberikan orang-orang Kristen hak dalam berhukum yang mengacu pada hukum Islam, seperti yang selalu terjadi sejak penaklukan Islam hingga sekarang, dan tentunya jelas bagi siapa yang memiliki mata hati, bahwa berhukum dengan Syariah Islam adalah satu-satunya cara untuk mencapai stabilitas masyarakat dan melestarikan pluralitas agama dan memberikan masing-masing haknya; dalam bingkai keadilan yang jelas, kesatuan nasional yang kokoh, struktur sosial yang rapi untuk anak bangsa dalam satu tanah air.
Hukum Islam melindungi martabat manusia dan kebebasannya:
Bahwa hukum positif sekalipun ketentuan-ketentuannya baik tidak mungkin dapat memberikan peran yang sama seperti syariat Islam terutama dalam memberikan rasa aman, keadilan dan kebebasan, karena hukum positif tidak memiliki kesucian sebagaimana ia tidak memiliki karakteristik moral dan spiritual seperti yang terdapat dalam Syariah Islam, yang senantiasa berinteraksi dengan hati nurani setiap orang dan pada saat yang bersamaan memberikan arahan terhadap perilaku mereka. Karena itu, tidak terdapat dalam jiwa orang yang melanggar hukum positif  perasaan takut atau jera kepada Allah, tidak merasa berdosa, tidak cemas dantidak mengalamai kepedihan hati nurani seperti orang yang melanggar atas dasar syariat Islam, bahkan boleh jadi orang yang pertama kali melakukan pelanggaran terhadap hukum positif adalah orang yang membuat hukum itu sendiri, yang mana dia mengetahui celah-celahnya, bahkan mungkin dia juga tahu cara menghindar dari hukum dan kembali melakukannya dalam corak dan warna lain dengan penuh kelicikan dan keterampilan.
Dalam hukum positif seorang hakim (jaksa) lebih mudah merubah dengan berpihak pada seorang tiran, tanpa merasa malu atau berdosa dan menjadikan hukum sebagai alat yang dapat digunakan untuk kemaslahatan dirinya dan merubahnya sesuai dengan kehendaknya. Ini telah kami saksikan di Negara Mesir, bagaimana hukum positif bisa dirubah, bahkan suatu konstitusi dapat menjadi pedang yang tajam yang digunakan oleh rezim tirani, yang dapat mengamandemen Konstitusi dan dapat dimanipulasi walaupun berlawanan dengan kehendak bangsa, dan mengeksploitasi dukungan mayoritas palsu untuk mensahkan undang-undang yang memiliki reputasi buruk, bahkan cenderung pada kerusakan dan melindungi pelaku kerusakan tanpa peduli atau mengabaikan hasil yang bersih lalu mengarah pada keisa-siaan, menjatuhkan kewibawaan dan nilai serta prestise Negara didalam hati setiap warga.
Efek negative dan pahit akibat ketiadaan Syariat Islam dan berkembangnya tirani:
* Dalam kondisi hilangnya syariat Islam dan berkuasanya rezim tirani menjadikan yang kuat diatas kebenaran, dan menjadi tugas sebagian institusi perundang-undangan yang berpihak pada kehendak penguasa tiran daripada menegakkan keadilan, dan daripada mencapai kemaslahatan (kepentingan) bangsa. Kongkretnya, tanyalah kepada KPU (Komisi Pemilihan Umum) apa yang terjadi dalam pemilihan Majlis Syura di Mesir.
* Dalam kondisi hilangnya syariat Islam dan berkuasanya rezim tirani menjadikan tugas lembaga keamanan yang asalnya sebagai pengayom dan pelindung rakyat berubah menjadi penyiksa atas para oposisi penguasa tiran, menyiksa atas tindakan kritis pemerintah tirani daripada melaksanakan kewajiban terhadap para pelaku kerusakan dan daripada mengejar para genk (kelompok) pelaku kejahatan, sementara kekuasaan di tangan para tiran juga merusak martabat manusia dan kehidupan mereka dan merampas hak-hak mereka.
* Dalam kondisi hilangnya syariat Islam dan berkuasanya rezim tirani banyak terjadi kezhaliman dan penangkapan orang-orang jujur, penjara-penjara penuh diidsi oleh orang yang memiliki keahlian dan keterampilan ilmiah; hanya karena mereka menyuarakan suara melawan tindak kezhaliman, tirani dan pemalsuan yang keji terhadap kehendak bangsa, memberikan jabatan kepada orang yang bukan ahlinya, dan memberikan area pemerintahan kepada mereka yang memiliki pikiran dan jiwa-jiwa yang hanya memikirkan kepentingan pribadi daripada kepentingan
Negara dan bangsa, dan akhirnya- sesuai dengan kondisi tersebut – muncul sikap individulistis dan egoisme, hancur hubungan sosial serta hilang nilai-nilai keadilan di dalam hati warga dan bangsa.
Dan oleh karena itu pula tersebar kezhaliman di berbagai lapisan masyarakat; ekonomi, sosial dan moral, melambat atau berhenti sama sekali, bahkan mengalami kemunduruan pada  proses pembangunan, dan sirna nilai-nilai nasionalisme dan kedewasaan serta moralitas yang mulia; berganti menjadi oportunisme dan karierisme, dan menjadikan yang kuat dapat bertindak sewenang-wenang untuk mengambil sesuatu yang bukan haknya dengan tangannya, sementara warga biasa dan sederhana terpaksa melakukan penyuapan untuk menyelesaikan beberapa hak-hak mereka, mencari jalan selamat daripada harus berhadapan dengan kekerasan dan ketidakadilan, hilang makna kenegaraan, dan berakibat pada kehancuran.
Semoga Allah SWT meridhai Ali bin Abi Thalib, yang berkata dalam buku yang pertama kali ditulis setelah ia menjabat khilafah:

أَمَّا بَعْد، فَإِنَّهُ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلكُمْ أَنَّهُمْ مَنَعُوا الْحَقَّ حَتَّى اشْتُرِيَ، وَبَسَطُوا الْجَوْرَ حَتَّى افْتُدِيَ
“Amma ba’du, sungguh telah hancur orang-orang sebelum kalian, bahwa mereka mencegah kebenaran hingga terpaksa membeli, dan mereka menyebarkan kezhaliman hingga dijadikan tebusan”
Jika secara sedehana umat manusia mau berpikir, maka akan terlihat bagaimana sirnanya eksistensi  suatu negara setelah dikuasai oleh kekuasaan dan dikebiri oleh kekuatan aparat keamanan, dan yang paling banyak semangatnya dan nyata pengetahuan para pelakunya adalah; perhitungan jiwa pada manusia, terhalangnya kepabilitas dan kemampuan dari berbagai tugas, jabatan yang sesuai untuk mereka, melakukan fabrikasi isu terhadap orang-orang yang jujur, malakukan tekanan, terror dan menjatuhkan martabat mereka, dalam sebuah penyimpangan yang memalukan dalam penggunaan undang-undang, sehingga mengancam adanya konsekuensi brutal.
Betapa banyak diantara Negara yang dasar pemerintahannya adalah penjara, pelecehan, penyiksaan dan pengadilan khusus, menyepelekan hak asasi dan menebarkan perasaan dengan kezhaliman… dan antara negara yang diatur dengan hukum Syariat Islam nan mulia, sehingga seorang khalifah Umar Bin Al Khattab ra berkata setelah menjabat:

أدِرُّوا علَى المسلمينَ حقوقَهم، ولاَ تَضْرِبُوهم فَتُذِلُّوهُمْ، وَلاَ تُجَمِّرُوهُمْ (أي لا تحبسوهم بغير حق) فَتَفْتِنُوهُمْ، ولا تُغْلِقُوا الأَبْوَابَ دونَهم، فَيَأْكُلَ قَوِيُّهم ضَعِيفَهم، ولا تَسْتَأْثِرُوا عليهم فتَظْلِمُوهُم، ولا تَجْهَلُوا عليهم
“Berikanlah kepada umat hak-hak mereka, janganlah kalian memukul (menyiksa) mereka sehingga kalian akan hina, dan jangan kalian melempar mereka (maksudnya janganlah kalian memenjarakan mereka tanpa alasan yang benar) sehingga kalian akan tertimpa fitnah (musibah), dan janganlah kalian tutup pintu untuk diberikan kepada selain mereka, sehingga yang kuat akan memangsa yang lemah, janganlah kalian memaksa mereka sehingga kalian mezhaliminya dan janganlah kalian acuhkan urusan mereka.
* Dalam kondisi hilangnya syariat Islam dan berkuasanya rezim tirani maka merebak nilai-nilai kemunafikan yang memangsa yang tertindas dari anak bangsa yang cerdas dan yang mahrum (patut dilindungi), tampak pula otoriterianisme dari kalangan cendekiawan dan media yang menjadikan tugas yang mereka emban hanya untuk membenarkan tindakan diktatorianisme dan penyimpangan-penyimpangan yang  mereka lakukan, membenarkan kekejaman dan kezhaliman serta kekerasan atas umat dan bangsa untuk memelihara kepentingan yang lebih besar mereka, dan membenarkan tindakan pengabaian dan kehinaan mereka dihadapan musuh dengan dalih sebagai bagian dari cara berpolitik praktis, dan pada saat yang bersamaan mereka menisbatkan para penentang (oposisi) politik sebagai kelompok yang keluar, pembangkang, perusak dan pengkhianat, mensifati nasihat yang syar’i yang menjadi kewajiban untuk ditunaikan kepada mereka sebagai pemberontakan, menganggap kritikan terhadap system yang telah diterapkan sebagai penghinaan terhadap symbol-simbol negara, sehingga para oposisi yang telah memberikan saran dan nasihat yang baik berhak untuk mati dan dilenyapkan dari muka bumi, bahkan dari sudut agama,  jika segala urusannya telah selesai. Sungguh tidak ada daya dan kekuatan kecuali pada milik Allah semata.
Demikianlah kita melihat bahwa ketiadaan Syariat Islam dapat merusak dan menghancurkan fitrah  manusia, mengancam kehidupan sosial, memangkas kesempatan untuk menumbuhkan kreativitas dan prestasi, menghancurkan kebaikan jiwa manusia, melepaskan dan mengurai sendi-sendinya, menanamkan didalamnya benih-benih perbudakan dan kezhaliman, menajdikan sisi individu rendah diri dan hina, sehingga terbangun dan muncul pribadi yang tidak memiliki sikap percaya diri, tidak dapat membuat keputusan yang sesuai dengan dirinya, muncul generasi dibawah kekuasaan tirani buta dan tidak memiliki martabat diri, sedikit keinginan dan lemah dalam memberi dan menerima.
Tidak ada cara lain untuk menyelamatkan bangsa Arab dan umat Islam dari situasi terburuk ini kecuali dengan melakukan kerjasama dan senantiasa melakukan koordinasi bersama warga yang setia dan ikhlas dari bangsa ini, dan tidak  merespon keinginan dan tipu muslihat rezim opresif yang berambisi ingin memecah belah kelompok umat dan ekpektasinya; hanya untuk menetapkan jati dirinya, kebebasan untuk melampiaskan malapetaka dan bencana akan potensi bangsa dan masa depannya, dan Ikhwanul Muslimin, dimanapun mereka berada dan sesuai dengan perasaan yang dimilikinya bertanggung jawab, dan akan tetap membentangkan tangan mereka untuk menjangkau semua kekuatan yang tulus dan hidup tanpa terkecuali, untuk menyatukan visi dan mengintegrasikan potensi dalam menghadapi kondisi absurd dan tidak bersahabat ini; sehingga mampu membangkitkan umat dari tidur dan keterpurukan, lalu menempatkan posisi yang berhak dimiliki ditengah umat lainnya yang ada dimuka bumi ini.
Allah Maha Besar dan segala puji hanya milik Allah semata.